Pengetahuan awal gigitan ular
Pengetahuan awal
Bisa ular (venom) terdiri dari 20 atau lebih komponen
sehingga pengaruhnya tidak dapat diinterpretasikan sebagai akibat dari satu
jenis toksin saja. Venom yang sebagian besar (90%) adalah protein, terdiri dari
berbagai macam enzim, polipeptida non-enzimatik dan protein non-toksik.
Berbagai logam seperti zink berhubungan dengan beberapa enzim seperti ecarin
(suatu enzim prokoagulan dari E.carinatus venom yang mengaktivasi
protombin). Karbohidrat dalam bentuk glikoprotein seperti serine protease
ancord merupakan prokoagulan dari C.rhodostoma venom (menekan
fibrinopeptida-A dari fibrinogen dan dipakai untuk mengobati kelainan
trombosis). Amin biogenik seperti histamin dan 5-hidroksitriptamin, yang
ditemukan dalam jumlah dan variasi yang besar pada Viperidae, mungkin
bertanggungjawab terhadap timbulnya rasa nyeri pada gigitan ular. Sebagian
besar bisa ular mengandung fosfolipase A yang bertanggung jawab pada aktivitas
neurotoksik presinaptik, rabdomiolisis dan kerusakan endotel vaskular. Enzim
venom lain seperti fosfoesterase, hialuronidase, ATP-ase, 5-nuklotidase,
kolinesterase, protease, RNA-ase, dan DNA-ase perannya belum jelas. (Sudoyo,
2006)
Bisa ular terdiri dari beberapa
polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP-ase, 5 nukleotidase, kolin
esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Enzim ini menyebabkan
destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan hemolisis
atau pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis. Hialuronidase
merusak bahan dasar sel sehingga memudahkan penyebaran racun. (de Jong, 1998)
Bisa ular dapat pula dikelompokkan
berdasarkan sifat dan dampak yang ditimbul kannya seperti neurotoksik,
hemoragik, trombogenik, hemolitik, sitotoksik, antifibrin, antikoagulan,
kardiotoksik dan gangguan vaskular (merusak tunika intima). Selain itu ular
juga merangsang jaringan untuk menghasikan zat – zat peradangan lain seperti
kinin, histamin dan substansi cepat lambat (Sudoyo, 2006)
Jenis gigitan ular
Gigitan ular berbahaya jika ularnya tergolong jenis berbisa.
Sebenarnya dari kira – kira ratusan jenis ular yang diketahui hanya sedikit
sekali yang berbisa, dan dari golongan ini hanya beberapa yang berbahaya bagi
manusia. (de Jong, 1998)
Di seluruh dunia dikenal lebih dari 2000
spesies ular, namun jenis yang berbisa hanya sekitar 250 spesies. Berdasarkan
morfologi gigi taringnya, ular dapat diklasifikasikan ke dalam 4 familli utama
yaitu:
·
Famili Elapidae misalnya ular weling,
ular welang, ular sendok, ular anang dan ular cabai
·
Familli Crotalidae/ Viperidae, misalnya
ular tanah, ular hijau dan ular bandotan puspo
·
Familli Hydrophidae, misalnya ular laut
·
Familli Colubridae, misalnya ular pohon
Untuk menduga jenis ular yang mengigit
adalah ular berbisa atau tidak dapat dipakai rambu – rambu bertolak dari bentuk
kepala ular dan luka bekas gigitan sebagai berikut:
Ciri – ciri ular berbisa:
·
Bentuk kepala segi empat panjang
·
Gigi taring kecil
·
Bekas gigitan, luka halus berbentuk lengkung
Ciri – ciri ular tidak berbisa:
·
Kepala segi tiga
·
Dua gigi taring besar di rahang atas
·
Dua luka gigitan utama akibat gigi taring
Jenis ular berbisa berdasarkan dampak yang
ditimbulkannya yang banyak dijumpai di Indonesia adalah jenis ular :
·
Hematotoksik, seperti Trimeresurus albolais
(ular hijau), Ankistrodon rhodostoma (ular tanah), aktivitas hemoragik
pada bisa ular Viperidae menyebabkan perdarahan spontan dan kerusakan
endotel (racun prokoagulan memicu kaskade pembekuan)
·
Neurotoksik, Bungarusfasciatus (ular welang),
Naya Sputatrix (ular sendok), ular kobra, ular laut.
Neurotoksin
pascasinaps seperti α-bungarotoxin dan cobrotoxin terikat pada
reseptor asetilkolin pada motor end-plate sedangkan neurotoxin prasinaps
seperti β-bungarotoxin, crotoxin, taipoxin dan notexin
merupakan fosfolipase-A2 yang mencegah pelepasan asetilkolin pada neuromuscular
junction.
Beberapa
spesies Viperidae, hydrophiidae memproduksi rabdomiolisin sistemik
sementara spesies yang lain menimbulkan mionekrosis pada tempat gigitan.
Patofisologi
Racun/bisa diproduksi dan disimpan pada sepasang kelenjar di
bawah mata. Racun ini disimpan di bawah gigi taring pada rahang atas. Rahang
dapat bertambah sampai 20 mm pada ular berbisa yang besar. Dosis racun
pergigitan bergantung pada waktu yang yang terlewati setelah gigitan yang
terakhir, derajat ancaman dan ukuran mangsa. Respon lubang hidung untuk
pancaran panas dari mangsa memungkinkan ular untuk mengubah ubah jumlah racun
yang dikeluarkan.
Racun kebanyakan berupa air. Protein enzim
pada racun mempunyai sifat merusak. Protease, colagenase dan hidrolase ester
arginin telah teridentifikasi pada racun ular berbisa. Neurotoksin terdapat
pada sebagian besar racun ular berbisa. Diketahui beberapa enzim diantaranya
adalah (1) hialuronidase, bagian dari racun diamana merusak jaringan subcutan
dengan menghancurkan mukopolisakarida; (2) fosfolipase A2 memainkan peran penting
pada hemolisis sekunder untuk efek eritrolisis pada membran sel darah merah dan
menyebabkan nekrosis otot; dan (3)enzim trobogenik menyebabkan pembentukan clot
fibrin, yang akan mengaktivasi plasmin dan menghasilkan koagulopati yang
merupakan konsekuensi hemoragik (Warrell,2005).
Gejala
Racun yang merusak jaringan menyebabkan nekrosis jarinagan
yang luas dan hemolisis. Gejala dan tanda yang menonjol berupa nyeri hebat dan
tidak sebanding sebasar luka, udem, eritem, petekia, ekimosis, bula dan tanda
nekrosis jaringan. Dapat terjadi perdarahan di peritoneum atau perikardium,
udem paru, dan syok berat karena efek racun langsung pada otot jantung. Ular
berbisa yang terkenal adalah ular tanah, bandotan puspa, ular hijau dan ular
laut. Ular berbisa lain adalah ular kobra dan ular welang yang biasanya
bersifat neurotoksik. Gejala dan tanda yang timbul karena bisa jenis ini adalah
rasa kesemutan, lemas, mual, salivasi, dan muntah. Pada pemeriksaan ditemukan
ptosis, refleks abnormal, dan sesak napas sampai akhirnya terjadi henti nafas
akibat kelumpuhan otot pernafasan. Ular kobra dapat juga menyemprotkan bisanya
yang kalau mengenai mata dapat menyebabkan kebutaan sementara. (de Jong, 1998).
Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan pada kasus
gigitan ular berbisa adalah
- Menghalangi/ memperlambat absorbsi bisa ular
- Menetralkan bisa ular yang sudah masuk ke dalam sirkulasi darah
- Mengatasi efek lokal dan sistemik (Sudoyo, 2006)
Usahakan
membuang bisa sebanyak mungkin dengan menoreh lubang bekas masuknya taring ular
sepanjang dan sedalam ½ cm, kemudian dilakukan pengisapan mekanis. Bila tidak
tersedia alatnya, darah dapat diisap dengan mulut asal mukosa mulut utuh tak
ada luka. Bisa yang tertelan akan dinetralkan oleh cairan pencernaan. Selain
itu dapat juga dilakukan eksisi jaringan berbentuk elips karena ada dua bekas
tusukan gigi taring, dengan jarak ½ cm dari lubang gigitan, sampai kedalaman
fasia otot.
Usaha
menghambat absorbsi dapat dilakukan dengan memasang tourniket beberapa
centimeter di proksimal gigitan atau di proksimal pembengkakan yang terlihat,
dengan tekanan yang cukup untuk menghambat aliran vena tapi lebih rendah dari
tekanan arteri. Tekanan dipertahankan dua jam. Penderita diistirahatkan supaya
aliran darah terpacu. Dalam 12 jam pertama masih ada pengaruh bila bagian yang
tergigit direndam dalam air es atau didinginkan dengan es.
Untuk
menetralisir bisa ular dilakukan penyuntikan serum bisa ular intravena atau intra
arteri yang memvaskularisasi daerah yang bersangkutan. Serum polivalen ini
dibuat dari darah kuda yang disuntik dengan sedikit bisa ular yang hidup di
daerah setempat. Dalam keadaan darurat tidak perlu dilakukan uji sensitivitas
lebih dahulu karena bahanya bisa lebih besar dari pada bahaya syok anafilaksis.
Pengobatan
suportif terdiri dari infus NaCl, plasma atau darah dan pemberian vasopresor
untuk menanggulangi syok. Mungkin perlu diberikan fibrinogen untuk memperbaiki
kerusakan sistem pembekuan. Dianjurkan juga pemberian kortikosteroid.
Bila terjadi
kelumpuhan pernapasan dilakukan intubasi, dilanjutkan dengan memasang
respirator untuk ventilasi. Diberikan juga antibiotik spektrum luas dan
vaksinasi tetanus. Bila terjadi pembengkakan hebat, biasanya perlu dilakukan
fasiotomi untuk mencegah sindrom kompartemen. Bila perlu, dilakukan upaya untuk
mengatasi faal ginjal. Nekrotomi dikerjakan bila telah tampak jelas batas
kematian jaringan, kemudian dilanjutkan dengan cangkok kulit.
Bila ragu –
ragu mengenai jenis ularnya, sebaiknya penderita diamati selama 48 jam karena
kadang efek keracunan bisa timbul lambat.
Gigitan ular
tak berbisa tidak memerlukan pertolongan khusus, kecuali pencagahan infeksi.
(de Jong, 1998).
0 komentar: